Confetti

Baca Juga

Cerpen Ayah Salwa
Aku tengah asyik di depan komputer ketika pintu kamar berderit didorong seseorang. Hmm, pasti salah seorang penghuni rumah, tetapi jelas bukan Mbok Nar. Kebiasaan, tanpa ketukan, tanpa salam. Padahal stiker wanti-wanti agar mengucap salam sengaja kutempel dengan ukuran cukup besar di pintu.
“Duh! Kagak bosan mencet komputer mulu. Mbak Lin bantuin aku dong!” Suara ceper Ines membuyarkan konsentrasi. Adikku yang satu ini tak pernah lembut kalau ngomong, seperti ia pikir semua tempat sama saja dengan kantin sekolahnya.
“Tapi kamu belum mengucap salam…”
“Huuu…, itu lagi! Ini kali yang ke dua ribu enam Mbak Lin ngingatin,” gerutunya. Jari lentiknya mencomot sepotong wafer dari toples, tanpa ampun sang wafer amblas melewati bibirnya yang kecil mungil.
“Bismillah dulu kenapa sih?”



“Astagaaa, nenek-nenek banget!”
Selesai mengedit laporan kegiatan BPM, kunaikkan volume Izzis. Dentuman semangat jihad menggelora hati. Ines mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah majalah warna-warni duniawi, entah apa namanya, susah sekali dieja.
“Nah, sekarang ada apa, Adik manis?”
Ines membalik halaman demi halaman. Lalu berhenti pada satu halaman yang penuh memuat foto. “ Coba baca deh, Mbak. Pemilihan Model Valentine! Ini kesempatan besar jadi terkenal, bukan?”
Robbi, apa yang Engkau benci, bagi mereka adalah peluang merebut kebahagiaan. Lihatlah gambar-gambar di halaman majalah itu, semuanya mengumbar aurat.
“Ines, demi Allah, Mbak Ulin nggak mau kamu seperti mereka-mereka ini. Jangan coba-coba!”
“Kenapa? Mbak Lin, ini bukan kegiatan illegal khan? Nggak ada larangan dari Presiden, jadi sah-sah aja. Lha, Menteri Pariwisata aja ikut jadi sponsor kenapa Mbak Lin ngelarang? Pake demi Allah segala…”
Astagfirullah!
“Adikku sayang, tapi agama mengutuk orang-orang yang mengumbar aurat. Pokoknya, untuk urusan beginian nggak ada kompromi.”
Mata bening Ines melotot, bibirnya menekuk manyun.
“Emangnya di de pe er nggak ada Islamnya? Komplit –plit! Dari ulama sampai kyai, dari lulusan Gontor sampai Mesir, tapi kagak ngelarang kegiatan beginian?
“Mereka bukannya nggak ngelarang, tapi diam aja. Dalam hati mereka pasti nggak setuju, cuma takut dicap kampungan aja. Punya ‘tangan’ dan mulut tapi nonsense, pada diam.”
“Menurut Ines, yang penting itu kita melaksanakan shalat dan puasa. Yaa, pokoknya yang gitu-gitu dech!
Ampun ya Rabb!
“Mbak Lin, Ines udah ngomong ke mama, katanya boleh.”
Ops!!??

***
Sepanjang siang di kampus tak banyak yang kulakukan kecuali menyudut di ruang perpustakaan rektorat. Beberapa ajakan dari teman-teman untuk menyusun proposal kegiatan rohis terpaksa kuabaikan. Soal Ines diam-diam terus menusuk ruang di kepalaku.
Ternyata Mama seratus persen mendukung keinginannya. Bahkan sudah hunting pakaian segala ke beberapa mal, bersilancar di internet mencari tahu kira-kira pakaian apa yang pas untuk diusung di perlombaan.
Terbayang gimana nanti di perlombaan Ines menghamparkan sisi-sisi kewanitaannya yang dianggap memenuhi selera kosmopolitan. Para juri akan habis-habisan mengeksploitasi keseksiannya. Wuihh!
Seksi? Entah apa yang ada dalam pikiran manusia-manusia itu soal keseksian. Seolah kebahagian utama bagi mereka hanyalah menikmati suguhan-suguhan syahwat. Brain? Behavior? Bukankah itu hanya kamuflase belaka, tak bermakna apa-apa bila yang jadi titik perhatian dan nilai jualnya cuma sisi maksiatnya?
Dan Ines, adik tersayangku harus terseret dalam arus mereka?
Tidak boleh!
Tapi bagaimana?

***
“Itu hanya kegiatan remaja seusia Ines, kok! Jangan membayangkan yang enggak-enggak, Lin. Kamu udah mahasiswa, itu memang bukan dunia kamu. Dunia anak-anak seusia Ines ya begitu itu.”
“Tapi, Ma, bukan soal usianya. Valentine Day bukan budaya kita, juga enggak Islami. Apalagi pakai pemilihan model segala.”
“Jangan berdebat soal Islam dengan Mama. Mama lebih paham mana yang boleh, mana yang nggak boleh…”
Tak segera kutukas jawaban mama. Raut wajahnya dingin tanpa ekspresi, seolah menyiratkan pernyataan bahwa tak ada yang keliru dengan ucapannya.
“Ma, setahu Ulin pemilihan model begituan mewajibkan pesertanya mengikuti sesi swimsuit sampai berciuman dan itu ditonton orang banyak. Menurut Mama, agama membolehkan?” kucoba beragumen.
“Tahu dari mana ada sesi begituan?”
“Tahun kemarin begitu!”
Mama mendelik dan sejurus kemudian senyum mengembang di bibirnya.
“Sudahlah Lin, Kamu tahu Ines khan? Kalau keinginannya kali ini dihalangi dia bisa down. Ines itu nggak sekuat kamu.”
Ya, Ines memang si bungsu mama yang manja. Tak pernah mampu Mama menolak semua rengekannya. Selain cantik dan pintar, Ines paling jago ngerayu mama. Ines tak kelihatan canggung bermanja di pangkuan mama atau menciumi pipi. Dan kalau sudah begitu pastilah mama nggak bakal bisa mengelak lagi dari rengekan si bungsu kesayangannya itu. Apalagi ‘sekedar’ mengabulkan keinginannya mengikuti lomba pemilihan model.
Papa? Ah, kalau papa biasanya mengikuti saja kemauan mama. Mungkin karena terlalu sibuk dengan kerjaan yang bertumpuk di kantor membuat papa lebih suka menyerahkan urusan anak-anak pada mama. Sementara mas Diko selalu saja asyik bersama kelompok band kampusnya.
Aku merasa jadi makhluk aneh di rumah ini, seperti anggapan Mbok Nar, khadimat kami. Jilbab, gamis gombrong, nasyid dan Qur’an saku yang tak pernah lepas di tangan begitulah keseharianku. Bahkan seringkali Mas Diko meledek bila aku menyetel nasyid, menganggap itu bukan musik karena enggak universal.Huh! Kesel juga lama-lama. “Emang nggak nyetel musik kok! Ulin nyetel nasyid, Tuan Rocker! Ini lebih Islami, karena itu lebih universal.” Jawabku sambil merenggut. Hasilnya, mas Diko langsung kabur.
“Non Ulin kayak makhluk aneh dari langit, hi…hi…,” komentar Mbok Nar sambil cekikikan. “ Tapi Mbok Nar seneng!”
Cuma Mbok Nar!
Jauh di lubuk hati, aku merasa asing di tengah-tengah keluargaku. Padahal aku ingin nilai-nilai yang kuyakini segera melumuri pribadi-pribadi di rumah ini. Sayangnya keinginan itu sulit terealisir. Duh,Robbi! Alangkah indah bila hidayahMu menyapa papa, mama, mas Diko dan Ines. Masih lamakah?

***
Berkali-kali kucoba meyakinkan mama agar melarang Ines mengikuti ajang pemilihan model berlumur maksiat itu. Gagal. Bicara sama papa susahnya minta ampun, selalu saja alasannya capek dan menjawab sekenanya. Ines, bahkan sudah on fire, semua persiapannya mengikuti ajang itu sudah matang.
Seisi rumah sudah seperti tembok tebal yang amat sulit digedor.
Berat memang, menebar dakwah di rumah sendiri.
Bila keluhan ini kusampaikan pada Teh Qonita, sahabatku, pastilah ia hanya akan mengumbar senyum seperti biasa lalu menyuruhku bersabar, mencoba terus dan bersabar. Bersabar tetapi tidak berdamai.
Membayangkan Ines melenggang di depan kerumunan orang-orang yang sangat asing, hatiku merasa teriris sembilu. Kerumunan durjana, ya durjana itu akan menikmati raga adik tersayangku dengan balutan ketat penuh simpul-simpul rangsangan syetan! Ya, Allah! Kenapa segala yang Engkau benci berlangsung dengan sangat mudah dan semarak?
Bila teman-teman di kampus tahu Ines, adik Ulin yang ketua rohis itu ikut lomba pemilihan model valentine, aduh, bagaimana bertiarap dari keheranan bahkan cemooh komunitas kampus?
“Kok, bisa kejadian, ya? Ulin itu paling concern soal jilbab, tapi kenapa adiknya sendiri dibiarkan ikut lomba pemilihan model valentine?”
“Siapa tahu malah Ulin-nya sendiri yang nyuruh!”
“Huss! Nggak mungkin laah…”
“Itulah problem dakwah, sulit diterapkan di internal sendiri. Paling tidak ini membuktikan satu hal; kesuksesan di luar tidak melulu menentukan sukses dalam keluarga.”
“Teori apaan tuh?”
“Teori kedondong! Di luar kinclong, dalamnya semrawut!”
“Hihihi…”
Pasti tak berhenti sampai di situ.
Membayangkan gunjingan yang bakal berserakan di seantero kampus, jantungku tiba-tiba berdegup kencang. Tidak! Ini tidak boleh terjadi. Ini pertaruhan integritasku
Tapi harus bagaimana?
Mendatangi panitia penyelenggara, membatalkan keikutsertaan Ines? Kasih alasan bahwa Ines sedang dirawat di rumah sakit atau apa pun asal panitianya segera mencoret nama Ines?
Astagfirullah!
Jelas aku nggak bakal bisa menciptakan kebohongan. Terbayang bagaimana nanti Ines bakal mencak-mencak. Mama. papa dan mas Diko jelas akan menyalahkan tindakanku. Dan aku tinggal bersiap diri menjadi tong sampah omelan penghuni rumah. Hmm, jangan dech!
“Itu bukan cara yang bijak, Lin. Sikap konfrontasi malah semakin menjauhkan mereka dari dakwah,” nasehat Qonita yang kerap kupanggil teteh, usai mengikuti kuliah ‘Peradilan Tata Usaha Negara’.
“Kalau gitu, namanya kompromi dong! Teteh ada-ada aja, masak dengan maksiat harus kompromi?”
Senyum mengembang di sudut bibir Qonita. “Bukan begitu, tapi kita hanya perlu mencari cara lain yang lebih hati-hati. Siapa tahu, Ines berubah pikiran setelah kamu kasih pengertian.”
“Setiap kunasehati, Ines malah merespon dengan bercanda, tahu kalau kakaknya nggak bisa marah.”
“Ya, tapi jangan manyun gitu, dong!”
Kami tertawa.
Malam kembali kuadukan keputusasaan pada diary kesayanganku. Memang cuma itu satu-satunya teman curhatku di rumah, nggak ada yang tersisa bila ujung pena sudah menyentuh lembar-lembar biru itu.

***
Ratusan orang berjubel di pintu masuk gedung megah itu. Warna-warni pakaian boleh dipukul rata satu tema, pink, sesuai semangat valentine. Ah, valentine! Seolah kasih sayang mesti diungkapan dengan cara seperti itu dan mesti tanggal hari ini. Setelahnya tawuran boleh berlangsung terus, boleh bersikap kasar sama ortu, guru bahkan nggak peduli kaum marginal di sekitar mereka terkapar kelaparan. Mana ekspresinya? Mana kasih sayangnya?
Aku ketar-ketir berada di tengah kerumunan. Anak-anak belasan tahun dengan pakaian seronok sungguh membuatku nanar. Dan aku jadi makhluk aneh di tengah-tengah mereka.
Kalau bukan atas perintah mama nggak bakalan aku bela-belain berada di sini. Lantaran mama mesti memenuhi janji dengan rekan kantornya, aku disuruh datang menyaksikan Ines bertarung. Dari kampus, aku langsung datang setelah lebih dahulu berkelit dari ajakan anak-anak rohis.
Tapi dua setengah jam memelototi panggung acara tak terlihat sosok Ines. Padahal peserta yang berjumlah tiga puluh pasang sudah unjuk kemampuan memeragakan busana yang mereka pakai. Sesekali menjawab beberapa pertanyaan juri. Lalu sesi saling mengucapkan rayuan, berpelukan ! Sungguh murahan!
Tapi kemana Ines? Jangan-jangan aku sudah nggak bisa mengenali adik semata wayangku itu dengan balutan pakaian pengumbar auratnya? Adakah Ines ada di antara enam puluh peserta tadi? Ah, mustahil aku nggak bisa mengenalnya. Betapapun ajaib pakaiannya, naluriku sebagai saudaranya pasti nggak bakalan error, sekedar mengetahui kehadirannya.
Di tengah-tengah hujan confetti berwarna pink , tiba-tiba pundakku digamit seseorang. Aku melengos. Kaget.
“Ines…?” mulutku mengaga. “ Kamu udah selesai?”
“Ines nggak jadi ikut, Mbak…”
“Syukur, ya Allah! Tapi kenapa?”
“Ines udah baca diary Mbak.”
Ines baca diaryku? Hei, berani-beraninya ! “Kamu?”
“Semuanya!”
Hahh??!!
“Tapi Mbak Ulin benar, kalo Allah nggak ridho, untuk apa terkenal? Kita nggak boleh merendahkan martabat diri sendiri, khan?”
Sungguh, aku nggak percaya. Segera kupeluk si cantik itu, mendekapnya erat-erat. Mata kami mengembun haru. Allah telah menyelamatkan Ines. Syukur, Rabb, semua telah Engkau mudahkan…
Sepotong confetti berwarna pink tertinggal di rambut Ines. Segera kucomot, kemudian menarik Ines dari hingar-bingar isi gedung itu*
pondok kelapa july ’05)

Bunda Linda

Blog ini berisi warna-warni pelangi seputar dunia anak dan rekan yang mewarnai hari-hari Bunda, Insyaallah banyak hal yang bisa kita petik dari dunia dan tingkah polah anak-anak yang seruuuu

Posting Komentar

Silakan poskan komentar

Lebih baru Lebih lama